
newsnoid.com, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah menjadi tonggak penting dalam reformasi kesehatan Indonesia, dengan cakupan yang terus meningkat dan mencapai lebih dari 95% penduduk pada akhir 2023.
Namun, di balik pencapaian administratif tersebut, masih ada persoalan besar yang belum terselesaikan: tingginya pengeluaran kesehatan secara out-of-pocket (OOP) yang harus ditanggung langsung oleh masyarakat.
Data National Health Accounts menunjukkan bahwa proporsi OOP sempat menurun dari 29,3% pada 2020 menjadi 25,2% pada 2021, namun kembali meningkat ke kisaran 30% pada 2022. Artinya, meski kepesertaan JKN meningkat, beban biaya langsung yang harus dibayar masyarakat belum sepenuhnya mereda.
Kajian nasional juga menemukan bahwa pada sejumlah layanan, rumah tangga justru mengalami peningkatan pengeluaran OOP, terutama untuk obat, pemeriksaan tambahan dan layanan yang tidak tercakup dalam paket manfaat JKN. Tingginya OOP mencerminkan jarak antara manfaat yang dijanjikan JKN dan pengalaman nyata pasien di lapangan.
Tidak sedikit peserta yang tetap harus membeli obat karena stok tidak tersedia di fasilitas kesehatan, membayar selisih biaya layanan tertentu atau menerima tagihan untuk tindakan yang seharusnya dapat ter-cover dalam sistem pembayaran INA-CBG. Kondisi ini menunjukkan bahwa perlindungan finansial JKN belum optimal.
Ada beberapa penyebab utama tingginya OOP, antara lain distribusi layanan esensial yang masih belum merata, tarif INA-CBG yang sering kali dinilai belum sesuai dengan biaya riil pelayanan, literasi peserta terkait hak dan prosedur layanan JKN yang masih rendah dan pengawasan terhadap pungutan tidak sah yang belum berjalan konsisten di seluruh fasilitas.
Dampak tingginya OOP paling berat dirasakan oleh keluarga miskin dan rentan. Ketika biaya kesehatan tidak terduga muncul, mereka sering terpaksa menunda pengobatan, meminjam uang, atau menjual aset produktif. Situasi ini jelas bertentangan dengan tujuan Universal Health Coverage (UHC), yaitu memastikan setiap orang dapat mengakses layanan kesehatan yang bermutu tanpa terbebani risiko finansial.
Untuk itu, beberapa langkah perbaikan perlu segera ditempuh, seperti memperkuat kecukupan tarif INA-CBG, memperbaiki manajemen rantai pasok obat, memperketat pengawasan terhadap pungutan tidak sah, dan meningkatkan literasi kesehatan peserta JKN.
Upaya menurunkan OOP bukan hanya isu teknis, melainkan juga keharusan moral. Sistem jaminan kesehatan ada untuk meringankan beban masyarakat, bukan membuat mereka membayar lebih banyak untuk layanan yang dijanjikan. Jika persoalan OOP tidak ditangani secara serius, JKN akan tetap menjadi payung yang bocor—memberi keteduhan di atas kertas, tetapi membuat masyarakat tetap kehujanan saat membutuhkan layanan kesehatan. (*/win)
