Dibalik kemegahan penutupan dalam rangkaian Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) di Stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Kabupaten Malang, menuai kritik tajam dari sejumlah pihak di media sosial, khususnya terkait minimnya koordinasi panitia dalam menyelenggarakan acara.
Sorotan panggung memang bisa membuat segalanya tampak megah. Tapi tak semua yang tampak gemerlap dari luar mencerminkan apa yang terjadi di balik layar. Ditengah riuh tepuk tangan dan dentuman musik, ada suara-suara lirih dari balik panggung—anak-anak bersiap sejak sore tanpa cukup minum, rundown yang berubah-ubah, pencahayaan yang gelap, hingga waktu ibadah yang terlewat.
Akun ini menulis bukan untuk menyudutkan, melainkan mencatat pengalaman dari lapangan—dari para pembina, peserta dan penonton yang menyaksikan langsung, agar panggung-panggung berikutnya tak lagi hanya memikirkan cahaya, tapi juga manusia yang berdiri di bawahnya.

Salah satu suara paling lantang datang dari @cindiigrizzellaa. Ia membagikan di akun. IG Malang Raya Info, bagaimana para penari topeng bapang harus bersiap sejak pukul 16.00, namun baru tampil pukul 20.00.
Tanpa logistik yang memadai, mereka bertahan tanpa minuman dan makanan. “Kalau mereka kehausan, jangan cuma ditawari, langsung disodorkan minum,” tulisnya. Ia juga mengkritisi pemilihan tari topeng sebagai bagian dari sesi masuk dan keluar, karena bernapas di balik topeng dalam keadaan lelah itu sangat berat.
Ia menyoroti pula komunikasi panitia yang dinilai sangat minim. Informasi latihan dan gladi resik datang terlalu mendadak. “H-2 baru ada info. Musik pun belum jelas, 4 menit atau 6 menit? Anak-anak dipaksa hafal dalam waktu singkat,” lanjutnya. Guru pembina pun menghadapi tantangan karena jarak rumah ke sekolah yang jauh. “Kami cuma bisa memaksimalkan nama sekolah supaya tidak malu-maluin.”
@ikromzzzzzt menulis singkat namun tajam, “Wah parah sih… panitia harus tanggung jawab… Ramaikan ini.”
@frista5900 menambahkan, “Sudah saya duga dari awal… Mereka maunya instan dan agak maksa.”
Sementara itu, komentar dari @sifak_al menyoroti absennya waktu ibadah untuk ribuan anak. “Acara ini membuat 3.000 anak meninggalkan kewajibannya. Tidak ada waktu salat,” tulisnya.
Sorotan juga mengarah ke pencahayaan. @steven_1love menyebut lighting acara “peteng payah”. @chusdianasari bahkan mengaku mengecek ulang tayangan video karena tak percaya segelap itu. Ia menulis, “Tarian dan kolosal bagus padahal, tapi lighting kurang. Tangga panggung pun baru dipasang saat acara sudah berjalan.”
Kisah lain datang dari @deviewidya713 yang bercerita tentang anak-anak SD kelas 2 yang harus berlari ke belakang panggung, kelelahan tapi tetap berusaha tampil maksimal di tengah kerumunan.
Di sisi lain, ada suara apresiatif dari @sismalaharningtyas yang mengapresiasi upaya pelestarian budaya daerah. “Nah gini dong, ini baru keren. Melestarikan budaya Indonesia. Bukan sound horeg yang dilestarikan.”
Semua ini bukan sekadar kritik biasa, melainkan bentuk kepedulian terhadap ribuan anak yang dilibatkan dalam acara sebesar Porprov. Mereka bukan sekadar pengisi rundown, tapi wajah masa depan yang patut dijaga dan dihargai. Evaluasi sangat dibutuhkan agar kesalahan tak kembali terulang. Semoga ke depan, acara besar tak hanya megah dari luar, tapi juga matang dari dalam. (*/win).